Laskar Pelangi dan Kaum Muda

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini JATENG POS, Sabtu, 4 Agustus 2012

Novel Laskar Pelangi terus menggeliat di negeri manca. Karya garapan Andrea Hirata ini telah terbit dalam bahasa Inggris di puluhan negara. Di luar negeri, novel Laskar Pelangi diminati begitu luas. Di Korea Selatan, novel ini diterjemahkan dalam bahasa Korea. Akhir Juni 2012, novel ini juga akan terbit dalam edisi Brasil dalam bahasa Portugis dengan judul Guerreiros da Esperanca. Bahkan, penerbit Farrar, Straus and Giroux (FSG) di Amerika Serikat yang dikenal telah menerbitkan novel-novel legendaris bersedia menerbitkan novel ini. Dalam edisi internasional yang diterbitkan FSG itu, novel rencananya akan diberi judul The Rainbow Troops. 

Apa yang telah dicapai oleh novel Laskar Pelangi tentu layaklah diapresiasi. Diterbitkan pertama kali pada tahun 2005 oleh penerbit Bentang Pustaka, novel ini diakui mampu menghadirkan sisi lain dari karya sastra. Sisi yang mampu memberikan inspirasi dan semangat hidup dalam dunia realitas. Dalam novel yang telah dibuat film tersebut, substansi yang ingin dihadirkan adalah perjuangan sepuluh anak (juga Ibu Muslimah) yang ingin menciptakan perubahan besar dalam kehidupan. Perubahan besar itu bukanlah sekadar utopia asalkan memiliki semangat dan mentalitas kerja keras untuk menggapai cita-cita. Di tengah kehidupan yang kesusahan, Ibu Muslimah tampil sebagai “Sang Guru” bagi Ikal dan teman-temannya di SD Muhammadiyah Gantung, Belitong.

Suasana batin sepuluh anak yang menyebut diri sebagai “Laskar Pelangi” itu tentu saja adalah suasana keprihatinan. Keterhimpitan hidup dalam kepapaan ternyata tak menjadikan mereka berputus asa. Dengan satu semangat menggapai kehidupan yang lebih baik, mereka berupaya menciptakan perubahan melalui pendidikan. Dalam Laskar Pelangi, keragaman etnis juga tampak dengan satu anak Tionghoa bernama A Kiong. A Kiong keturunan Tionghoa itu hidup menyatu dalam “Laskar Pelangi” tanpa harus merasa hidup di “planet lain”. Menurut penulis, itulah semangat yang selayaknya dimiliki anak-anak muda masa kini untuk mampu hidup bersama dalam perbedaan. Jika anak-anak dalam “Laskar Pelangi” ingin merubah kehidupan sosial dan ekonomi di Belitong, maka anak-anak muda zaman kini sudah seharusnya memiliki semangat serupa. Anak-anak muda dari berbagai daerah yang dihuni beragam kelompok perlu hidup rukun dalam satu cita-cita membangun daerahnya. Anak-anak muda sudah sewajarnya membangun daerahnya masing-masing dengan spirit nasionalisme bahwa membangun daerah untuk lebih maju juga berarti membangun negeri Indonesia.  

Pastinya, semangat anak-anak dalam “Laskar Pelangi” sungguh diharapkan mampu menjadi kepribadian anak-anak muda di negeri ini. Anak-anak muda sebagai penerus perjalanan bangsa perlu memiliki spirit tak kenal menyerah. Pun, ketekunan dan  kerja keras adalah keniscayaan bagi terciptanya impian dan cita-cita. Anak-anak muda perlu memiliki mentalitas kerja keras, mandiri, percaya diri, dan lebih penting lagi adalah kepemilikan tanggung jawab sosial untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Anak-anak muda perlu membebaskan kehidupan masyarakatnya dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.  

Tak kalah penting, kita perlu menyadari aspek pendidikan bagi terbangunnya jiwa anak-anak muda. Kita jangan sekadar berteriak-teriak bahwa anak-anak muda adalah generasi masa depan, tetapi seyogyianya menyediakan ruang pendidikan bagi tumbuh kembang anak-anak muda. Dalam hal ini, ruang pendidikan bagi anak-anak muda tidak bisa melepaskan peran guru di dalamnya. Bu Muslimah sebagai guru dalam “Laskar Pelangi” bisa menjadi cermin pentingnya guru bagi perkembangan intelektual, mental, dan spiritual anak-anak muda. Bu Mus mengajar dan mendidik anak-anak di Belitong dengan semangat pengabdian, bukan menjadikan materi sebagai orientasi utama. Bagaimana tidak, dengan hanya bergaji Rp 3.000 per bulan yang kadang dibayar Rp 1.300, Bu Mus terus mendidik anak-anak dalam “Laskar Pelangi” dengan penuh kasih sayang. Bu Mus mampu menjadi “bensin” yang membakar jiwa dan semangat anak-anak didiknya untuk tekun belajar. Sosok Bung Karno pun ditampilkan Bu Mus agar anak-anak didiknya termotivasi untuk menjadi “besar”. Sungguh luar biasa sosok guru Bu Muslimah ini.

Maka, tak salah jika mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Fuad Hasan, pernah mengatakan, “Sebaik apapun kurikulum jika tidak didukung guru yang berkualitas maka semua akan sia-sia”. Guru yang berkualitas tentu tak hanya di wilayah akademik, tetapi juga berkualitas secara moral dan kepribadian, mampu memotivasi anak didik, memiliki dedikasi, dan bercita-cita mulia menjadikan anak-anak didiknya agar lebih manusiawi. Guru yang berkualitas adalah guru yang mampu menjadikan anak-anak didiknya berpikir dan bertindak besar. Menurut penulis, amat perlu muncul “Bu Muslimah” yang mendidik anak-anak muda agar berpikir dan bertindak besar. Jika anak-anak muda mampu seperti itu, maka Indonesia maju bukan hanya mimpi. Wallahu a’lam. 
HENDRA SUGIANTORO 
Penikmat sastra&Pegiat Transform Institute, tinggal di Yogyakarta
 

0 komentar: